PENYELESAIAN SENGKETA INDONESIA DENGAN MALAISIA MENGENAI KEDAULATAN PULAU SIPADAN DAN LINGITAN


KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Allhamdulillah berkat pertolongan Allah akhirnya penulis bisa menyelesaikan tugas kelompok dalam menyusun makalah diskusi pada mata kuliah Hukum Penyelesaian Sengketa Internassional, setelah sekian lama tertunda, tujuan penulis menyusun maklah diskusi ini adalah untuk mengetahui seberapa penting peranan mahkamah internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional antara ke dua Negara tersebut yaitu Indonesia dan Malaisia untuk itu penulis beri judul makalah diskusi ini dengan judul Penyelesaian SengketaIndonesia Dengan Malaisia Mengenai Kedaulatan Pulau Sipadan Dan Lingitan
dan makalah ini di susun untuk memenuhi kewajiban dan melaksanakan tugas terstruktur dari dosen mata kuliah Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional.
Terakhir penulis ucapkan terimakasih untuk semua pihak yang sudah membantu dan memudahkan penyelesaian makalah diskusi ini, penulis berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat.
Bandung, 22 Maret 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG MASALAH
  2. IDENTIFIKASI MASALAH
BAB II KASUS POSISI
  1. FAKTA HUKUM
  1. PARA PIHAK
  2. KASUS SENGKTA
  1. PERMASALAHAN HUKUM
  2. TEORITIS
  3. POKOK-POKOK PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DAN PERTIMBANGANNYA
BAB III ANALISA
BAB IV PENUTUP
  1. KESIMPULAN
  2. REKOMENDASI
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam interaksi konflik atau sengketa adalah hal yang lumrah terjadi. Sengketa adalah :adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda. Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain. Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah menjadi solusi bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik
Penyelesaian sengketa melalui jalur hukum atau judicial settlement juga dapat menjadi pilihan bagi subyek hukum internasional yang bersengketa satu sama lain. Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan penyelesaian sengketa jalur hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing pihak yang bersengketa.
Begitu halnya dengan hubungan antara Indonesia dengan Malaisia. Walaupun antara kedua Negara tersebut satu rumpun dan sering melakukan hubungan baik baik dalam hubungan bilateral maupun multilateral, namun tidak selamanya hungan itu ber jalan lancar ini dapat dibuktikan dengan adanya berbagai persoalan kedaulan salah satu diantaranya adalah pada tahun 2002 Indonesia dengan Malaysia terjadi sebuah sengketa yang mana di sengketa tersebut hal yang disengketakan agalah tentang batas kedaulatan wilayah antara Indonesia dengan Malaysia mengenai kepemilikan pulau yang ada di perbatas tersebut dan keduanya mengklaim bahwa pulau tersebut adalah masuk batas territorial negaranya baik itu Malaisia maupun Indonesia.
Dalam penyelesaian sengketa ini jalan yang ditempuh oleh kedua Negara ini yaitu Indonesia dan Malaisia adalah dengan jalan penyelesaian sengketa Internasional secara damai dan penyelesaiannya secara yudicial di Mahkamah Internasional
B. Identifikasi Masalah
1. Langkah apa yang diambil Malaisia dan Indonesia dalam menyelesaikan sengketa kedaulatan diantara keduanya?

BAB II
KASUS POSISI
A. Fakta Hukum
Untuk lebih jelanya mengenai fakta hukum mengenai sengketa kedaulatan Pulau Sipadan dan Lingitan ini antara Indonesia dan Malaysia maka perlu diketahui kejelasan dari permasalahan tersebut baik dari para pihak maupun kasus yang disengketakan,
1. Para Pihak
Indonesia
Malaisia
2. Kasus Sengketa
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan karena adanya ketidakjelasan garis perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu dari Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Borneo,
B. Permasalahan Hukum
Sebelum 1969 kedua belah pihak menghormati Konvensi 1891 antara Inggris dan Belanda yang menetapkan garis batas 40 10’ Lintang Utara (LU) bagi kedua negara. Indonesia berpendirian bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan yang terletak di sebelah Selatan garis itu merupakan wilayah Indonesia.
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan untuk pertama kali muncul ketika dilangsungkan perundingan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada 9-22 September 1969, karena Malaysia mengklaim pemilik kedua pulau tersebut
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den & Overbeck-BNBC-Malaysia.
Sengketa ini lalu dibicarakan dalam pertemuan antara Presiden Soeharto dan PM Mahathir Muhamad di Yogyakarta pada 1989. Melalui berbagai pertemuan dalam beberapa tahun, kedua belah pihak berkesimpulan sengketa ini sulit untuk diselesaikan secara bilateral
Karena itu kedua belah pihak setuju untuk mengajukan penyelesaian ini ke Mahkamah Internasional dengan menandatangai ”Perjanjian Khusus untuk diajukan ke Mahkamah Internasional dalam Sengketa antara Indonesia dan Malaysia menyangkut kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Sipdan,” di Kuala Lumpur pada 31 Mei 1997. Melalui surat bersama perjanjian ini kasus sengketa ini disampaikan ke Mahkamah Internasional di Den Haag pada 2 November 1998.
Kedua belah pihak mempercayai Mahkamah Internasional akan mengambil keputusan yang adil mengenai siapa yang berdaulat atas kedaulatan Pulau Ligitan dan Sipadan, berdasarkan bukti-bukti yang ada
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den & Overbeck-BNBC-Malaysia. Malaysia juga berpendirian bahwa kedaulatannya atas kedua pulau tersebut berdasarkan fakta bahwa Inggris dan kemudian Malaysia sejak 1878 secara damai terus menerus mengadministrasi kedua pulau itu.
Di depan Mahkamah Internasional, untuk membuktikan klaimnya, kedua belah pihak harus memenuhi prosedur, antara lain menyampaikan pembelaan tertulis dan memori, memori banding dan replik. sampai memasuki tahap penyampaian pembelaan lisan.
Pembelaan lisan terbagi dua, yaitu putaran pertama pada 3 dan 4 Juni 2002 Indonesia menyampaikan pembelaannya pada dengar pendapat terbuka. Menyusul Malaysia pada 6 dan 7 Juni. Sedang putaran kedua pada 10 Juni untuk Indonesia dan pada 12 Juni jawaban Malaysia. Mengenai cara-cara menyampaikan perkara, batas waktu penyampaian pembelaan tertulis dan lisan tertera dalam Statuta ICJ. Pembelaan lisan ini, sebagai kelanjutan pembelaaan tertulis yang berakhir pada Maret 2000, akan berlangsung sampai 12 Juni 2002
Pemerintah Indonesia berpendirian bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan wilayah Indonesia. Selain itu, Indonesia tetap mengajukan protes sambil menahan diri untuk tidak melakukan klaim sepihak seperti yang dilakukan Malaysia selama ini atas kedua pulau di lepas pulau Kalimantan tersebut. Demikian salah satu kesimpulan yang diutarakan Menlu saat menyampaikan argumentasi lisan di hadapan hakim pengadilan internasional di Den Haag.
Kendati sedang bersengketa, Hassan menyatakan bahwa hubungan Indonesia dengan Malaysia masih berlangsung dengan sangat baik. ”Kembali kepada sisi yang positif, Indonesia memperhatikan bahwa kendati terdapat perbedaan-perbedaan dengan Malaysia, hubungan antara kedua negara tetap berjalan sangat baik dan kedua negara telah bersikap arif untuk menyelesaikan sengketa (Sipadan dan Ligitan) secara bersama kepada yurisdiksi Mahkamah Internasional
Hassan, selaku pemegang kuasa hukum (Agent) Indonesia dalam kasus sengketa Sipadan dan Ligitan, yaitu bahwa adanya tindakan sepihak Malaysia pada tahun 1979 yang tidak mencerminkan adanya ”good faith,” diantaranya dengan cara menerbitkan peta yang memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah nasionalnya. ”Dan akhirnya dengan membangun sejumlah fasilitas wisata di Sipadan. Tindakan-tindakan ini secara fundamental tidak selaras dengan sikap menahan diri atau ‘status quo.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den & Overbeck-BNBC-Malaysia.
PADA tanggal 17 Desember 2002 lalu, Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan, Pulau Sipadan dan Ligitan adalah wilayah Malaysia berdasar kenyataan, Inggris dan Malaysia dianggap telah melaksanakan kedaulatan yang lebih "efektif" atas pulau itu sebelum tahun 1969.
Indonesia menghormati keputusan itu, apalagi karena Pasal 5 Persetujuan 1997 tegas menyatakan, kedua pihak agree to accept the judgement of the Court given pursuant to this Special Agreement as final and binding upon th
D. Pokok-pokok Putusan Mahkamah Internasional
Putusan Mahkamah dan Pokok-pokok Pertimbangannya mengenai sengketa Indonesia dengan Malaisia tersebut diatas yaitu:
Pokok-pokok Putusan Mahkamah Internasional
1. Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
2. Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10' LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
3. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa.
i. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulai Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara- juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
ii. Berkaitan dengan pembuktian effectivies Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :
a. Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917.
b. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pada tahun 1930-an;
c. Penetapan P. Sipadan sebagai cagar burung, dan
d. Pembangunan dan pemeliharaan mercu suar sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan pada tahun 1963 di P. Ligitan
C. Teory
Teory mengenai metode penyelesaian sengketa internasional (methods of international settlement disputes) di bagi dua bagian yaitu metode diplomasi dan secara huklum, lebih jelasnya di jelaskan seperti di bawah ini:
1. Metode Diplomasi (Diplomatic Method):
1.a. Negosiasi (negotiation)
Negosiasi adalah perundingan yang dilakukan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan paling tuas digunakan oleh umat manusia. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB menempatkan negosiasi sebagai cara pertama dalam menyelesaikan sengketa.
1.b. Pencarian Fakta (fact-finding atau inquiry)
Sengketa yang dihadapi oleh para pihak pada intinya adalah mempersengketakan perbedaan mengenai fakta, maka untuk meluruskan perbedaan tersebut diperlukan campur tangan pihak lain untuk menyelidiki kedudukan fakta yang sebenarnya. Biasanya para pihak tidak meminta pengadilan tetapi meminta pihak ketiga sifatnya kurang formal. Cara ini biasanya ditempuh manakala cara-cara konsultasi atau negosiasi telah dilakukan dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Dengan cara ini, pihak ketiga akan berupaya melihat suatu permasalahan dari semua sudut guna memberikan penjelasan mengenai kedudukan para pihak.
1.c. Jasa-Jasa Baik (good offices)
Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (group or individual), negara atau kelompok negara atau organisasi internasional.
Dalam jasa-jasa baik, pihak ketiga terlibat tanpa memainkan peranan yang aktif dalam arti dia tidak ikut secara langsung dalam perundingan-perundingan tetapi hanya menyiapkan dan mengambil langkah-langkah yang perlu agar para pihak yang bersengketa dapat bertemu satu sama lain dan merundingkan sengketanya. Bila para pihak yang bersengketa telah setuju untuk saling bertemu maka berakhir pulalah misi negara yang menawarkan jasa-jasa baiknya tersebut, contoh: atas jasa-jasa baik Perancis, Menlu Henry Kissinger mengadakan perundingan dengan Menlu Vietnam Le Duc Tho pada bulan Januari 1973 untuk mengakhiri Perang Vietnam.
Determination made by third party is not binding unless they have so agreed.
Pelaksanaan jasa-jasa baik (good offices) dapat disatukan dengan mediasi (mediation) pelaksanaannya dapat disatukan/digabungkan, contoh: Kasus Iran (1979) --- kedua belah pihak tidak berbicara secara langsung satu sama lain. Dalam kasus ini Aljazair bertindak sebagai mediator dan menghasilkan Algier Accord sebagai dasar pembentukan “The Iran-USA Claims Tribunal in the Hague (1981)”.
1.d. Mediasi (mediation)
Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (group or individual), negara atau kelompok negara atau organisasi internasional.
Dalam mediasi, negara ketiga bukan hanya sekedar mengusahakan agar para pihak yang bersengketa saling bertemu, tetapi juga mengusahakan dasar-dasar perundingan dan ikut aktif dalam perundingan, contoh: mediasi yang dilakukan oleh Komisi Tiga Negara (Australia, Amerika, Belgia) yang dibentuk oleh PBB pada bulan Agustus 1947 untuk mencari penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda dan juga mediasi yang dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter untuk mencari penyelesaian sengketa antara Israel dan Mesir hingga menghasilkan Perjanjian Camp David 1979. Dengan demikian, dalam mediasi pihak ketiga terlibat secara aktif (more active and actually takes part in the negotiation).
Determination made by third party is not binding unless they have so agreed.
1.e. Konsiliasi (conciliation)
Konsiliasi merupakan suatu cara penyelesaian sengketa oleh suatu organ yang dibentuk sebelumnya atau dibentuk kemudian atas kesepakatan para pihak yang bersengketa. Organ yang dibentuk tersebut mengajukan usul-usul penyelesaian kepada para pihak yang bersengketa (to the ascertain the facts and suggesting possible solution). Rekomendasi yang diberikan oleh organ tersebut tidak bersifat mengikat (the recommendation of the commission is not binding).
Contoh dari konsiliasi adalah pada sengketa antara Thailand dan Perancis, kedua belah pihak sepakat untuk membentuk Komisi Konsiliasi. Dalam kasus ini Thailand selalu menuntut sebagian dari wilayah Laos dan Kamboja yang terletak di bagian Timur tapal batasnya. Karena waktu itu Laos dan Kamboja adalah protektorat Perancis maka sengketa ini menyangkut antara Thailand dan Perancis.
2. Penyelesaian Sengketa Internasional Dengan Cara Hukum
2.a. Arbitrase
Arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa melalui keputusan yang mengikat yang didasarkan atas hukum dan sebagai hasil dari penerimaan secara sukarela (a procedure for the settlement of disputes between states by a binding award on the basis of law and as a result of an undertaking voluntarily accepted).
2.b. Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
Mahkamah Internasional (ICJ) sebagai badan peradilan dunia yang berkedudukan di Den Haag dewasa ini memainkan peranan yang sangat penting di dalam mencegah pertikaian antarnegara. Mahkamah Internasional (ICJ) merupakan kelanjutan dari Mahkamah Tetap Peradilan Internasional (PCIJ) yang dibentuk berdasarkan Pasal XIV Covenant LBB. Pembentukan Mahkamah yang baru ini (ICJ) sama sekali bukanlah berarti bahwa Mahkamah yang lama (PCIJ) gagal dalam menjalankan tugasnya. Terbukti dari tahun 1922 sampai dengan tahun 1940, Mahkamah Tetap (PCIJ) telah memutuskan 31 perkara dan menyampaikan 27 pendapat tidak mengikat (advisory opinion).
Mahkamah Internasional (ICJ) merupakan bagian integral dari PBB. Menurut Pasal 92 Piagam PBB: “Mahkamah Internasional merupakan organ hukum utama PBB”. Karena Mahkamah Internasional merupakan bagian integral dari PBB, maka secara otomatis semua anggota PBB merupakan anggota Statuta Mahkamah Internasional. Hal ini berbeda dengan LBB: Pakta (Covenant) LBB dan Statuta Mahkamah Tetap (PCIJ) merupakan dua naskah yang terpisah sama sekali.
Penyelesaian sengketa yang Diambil antara Malaisia dan Indonesia adalah dengan jalan mengambil metode kedua dalam hal metode hUkum dengan cara mengajukan persoalan sengketa kepada Mahkamah Internasional.
Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan penyelesaian sengketa jalur hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing pihak yang bersengketa.
Selain arbitrase, lembaga lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui jalur hukum adalah pengadilan internasional. Pada saat ini ada beberapa pengadilan internasional dan pengadilan internasional regional yang hadir untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa internasional. Misalnya International Court of Justice (ICJ), International Criminal Court, International Tribunal on the Law of the Sea, European Court for Human Rights, dan lainnya.
Penyelesaian sengketa internasional melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak, misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan hukum acara yang digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan internasional, maka para pihak akan mendapatkan putusan yang mengikat masing-masing pihak yang bersengketa.
BAB III
ANALISIS

................................................................................................ 
.................................................................................................... 

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam menentukan kedaulatan di Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan suatu cara penyelesaian sengketa secara damai,dimana Indonesia dan Malaysia memilih Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan sengketa ini, dasar hukum di dalam penyelesaian sengketa ini adalah pasal 2 ayat 3 dan pasal 33 Piagam PBB.
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan disebabkan karena adanya ketidakjelasan garis perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu dari Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Borneo, sehingga pada saat Indonesia dan Malaysia berunding untuk menentukan garis perbatasan kedua negara di Pulau Borneo, masalah ini muncul karena kedua pihak saling mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan.
Berbagai pertemuan bilateral dilakukan oleh kedua negara dalam upaya melakukan pemecahan atas sengketa ini namun sengketa ini tidak dapat diselesaikan, sehingga kedua negara sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah Internasional. Berbagai macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua pihak dalam persidangan di Mahkamah Internasional, dan pada akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan milik Malaysia atas dasar prinsip OKUPASI, dimana Malaysia dan Inggris sebagai negara pendahulu lebih banyak melaksanakan efektifitas di Pulau Sipadan dan Ligitan.
B. Rekomendasi
Dalam mengantisipasi negosiasi pada tahap berikutnya,maka perlu terus dilakukan pengkajian mendalam untuk memperkuat posisi tawar menawar kita. Landasan hukum yang kuat akan menjadi modal dasarnya, namun harus didukung dengan kepiawaian dalam seni bernegosiasi untuk menyakinkan pihak lawan. Apabila atas dasar hasil kajian yang mendalam dan komprehensif, posisi Indonesia secara yuridis sangat kuat, maka penyelesaian secara hukum harus tetap dibuka kemungkinannya. Dengan alasan apapun, opsi perangsebaiknya tidak digunakan
Untuk mencegah berulangnya kejadian serupa, maka Pemerintah Indonesia harus menangani secara lebih serius masalah wilayah perbatasan dan pulau- pulau yang berbatasan dengan negara tetangga.Bayangkan saja untuk memperjuangkan Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional harus keluar dana lebih dari Rp16 miliar. Dan itu bukan uang yang sedikit terlebih lagi kehilangan satu pulau berarti ancaman terhadap integritas wilayah Indonesia. Hal ini penting, karena sengketa pulau yang dimiliki Indonesia bukan saja Sipadan-Ligitan, tetapi banyak pulau lainnya. Selain itu, ini juga bisa menjadi preseden buruk terhadap pertanggungjawaban pemerintah untuk mempertahankan eksistensi keutuhan wilayah.
Miskin ahli hukum internasional, Hilangnya Pulau Sipadan dan Lingitan di Mahkamah Internasional, menjadi pelajaran yang sangat berharga sekali, harus diakui bahwa pemerintah memang tidak menggunakan bantuan dari pengacara atau pakar hukum internasional dari Indonesia, kecuali ahli-ahli dari Deplu sendiri. Dari sekian ribu pengacara yang ada di Indonesia, menurut Havas, belum ada satupun yang memiliki keterampilan yang memadai untuk berlaga di Mahkamah Internasional. Salah satunya adalah memperkuat dan memperbanyak ahli hukum yang menguasai pengetahuan tentang hukum internasional. Menurut Director of Treaties on Political, Security and Teritorial Affairs Deplu, Arif Havas Oegroseno, Indonesia minim sekali orang yang ahli di bidang hukum internasional. Namun, tidak seharusnya ketiadaan para pakar hukum internasional membuat kita menjadi tidak percaya diri.
Jangan menggunakan pengacara asing karena, Selain itu, ia juga berpendapat bahwa pengacara dalam negeri memiliki sense of belonging yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengacara asing. Sedangkan, pengacara-pengacara asing relatif melihat kasus tersebut dari sisi bisnisnya semata.
DAFTAR PUSTAKA

................................................................................................................................. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar